Dahulu kala di sebuah tempat yang terletak di
tepi sebelah utara Ibukota Kabupaten Bone, Hidup seorang Wali yang dikenal
dengan To Manurung’E Tellang Kere Ri tete. Konon daerah tersebut kian hari kian
ramai dikunjungi oleh orang-orang yang berdatangan dari berbagai penjuru.
Kondisi tersebut menjadi kan lahirnya sebuah Kerajaan kecil yang kemudian
dipimpin oleh To Manurung’E. Sebagai Penguasa Kerajaan Tete, beliau digelar Arung
Tete.
Arung tete memiliki tujuh orang anak, Salah
seorang diantaranya bernama I Besse Timo yang merupakan putri
sulung yang menjadi putri kesayangan beliau. I Besse timo selain memiliki paras
yang cantik rupawan juga sopan dan patuh pada orang tua.
I Besse timo semakin tumbuh dewasa layaknya
gadis-gadis pada umumnya. Suatu ketika
terjadi Guntur yang amat dahsyat, bersamaan dengan kejadian tersebut I Besse
Timo mengalami kejadian luar biasa. Beliau (I Besse Timo) mengalami perasaan
intim yang luarbiasa nikmatnya layaknya
hubungan suami istri. Setelah kejadian tersebut I Besse Timo dinyatakan hamil
tanpa diketahui siapa gerangan yang menjadi pasangannya.
Melihat putrinya hamil tanpa suami, Arung
Tete sangat terkejut dan keheranan mengingat dalam keseharian putrinya tersebut
hidup bersahaja dan sangat menjaga diri dari pergaulan yang terlarang. Ditengah
keheranannya Arung Tete pun menanyakan prihal tersebut kepada Putrinya. I Besse Timo pung segera menceritakan
peristiwa yang dialaminya tanpa ragu. I Besse timo sangat mengenal karakter Ayahnya
yang bijak dan pernuh perhatian terhadap setiap kejadian yang dialami putrinya.
Dalam keadaan batin bergolak antara keinginan untuk segera mengungkap siapa
gerangan laki-laki yang telah berbuat demikian dengan putrinya dengan perasaan
kasih sayang terhadap putri yang disayanginya tersebut, Arung tete memutuskan
agar putrinyalah yang harus menemukan sendiri laki-laki yang telah
menghamilinya itu. Arung Tete menyuruh putrinya I Besse Timo untuk pergi
mencari laki-laki siapa gerangan ayah anak yang dikandungnya. Dengan berat hati Arung Tete mengantar
putrinya sampai ke tepian sungai yang bernama sungai Tete. Dengan perasaan haru
Arung Tete memberikan perbekalan secukupnya kepada putri kesayangannya berupa
seikat padi dan sebutir telur yang telah dierami oleh induknya. Namun telur itu
tidak diserahkan kepada I Besse Timo melainkan dihanyutkan ke Sungai Tete
sebagai petunjuk jalan. Arung Tete kemudian menyuruh putrinya mengikuti telur
itu kemana pun ia pergi. Anehnya telur yang dihanyutkan oleh ayahnya itu tetap
terapung diatas air dan berjalan mengikuti arus, I Besse timo terus mengikuti pergerakan
telur menyusuri sungai.
Ketika perjalanan telur ajaib ini sampai di
kaki gunung yang letaknya sebelah barat Kabupaten Soppeng telur tersebut
istirahat maka I Besse Timo pun ikut beristirahat selama beberapa saat. Dari
tempat tersebut I BT memandang jauh ke puncak gunung tersebut sambal merenungi
keadaan dirinya yang sedang hamil tanpa pernah dijamah oleh lelaki manapun.
Sebagai tanda kenangan bahwa dirinya saat itu masih gadis, ia lalu memberi nama
gunung yang dipandanginya tersebut dengan nama Bulu Ana’dara (Gunung
Gadis).
Selanjutnya telur itu bergerak lagi kebawah
mengikuti arus air. Namun setelah sampai disebuah pertemuan arus sungai antara
Sungai Tete dengan Sungai Langkemme, tiba-tiba telur tersebut berbelok naik melawan
arah menyisir ke arah sungai asal Langkemme. Ditempat berbeloknya telor inilah
kemudian diberi nama Salo Palekoreng (Belokan Sungai) karena telor tersebut
berbelok. Sementara telur itu bergerak terus melawan arus sungai, I BT pun
dengan sabar mengikuti kemana gerangan tempat yang akan dituju. Begitulah terus keadan telur tersebut hingga
kebudian sampai pada suatu tempat telur itu pun tiba-tiba merubah arah (lain
arah) pergerakan. Telur tersebut tidak
lagi menyusuri sungai melainkan berbelok naik kedaratan dan menggelinding
menyusuri perbukitan. Perubahan pergerakan tersebut kemudian menjadi nama pada
sungai tempat berbelok ini bernama Salo Lainna (Sungai Lain).
Telur yang menjadi pemandu perjalanan I Besse
Timo ini terus bergelinding hingga sampai pada suatu bukit telur tersebut tidak
lagi bergerak. Dalam keadaan telur diam ini, maka I BT memahami bahwa perjalanan
telur sudah berakhir, yang berarti puncak bukit ini menjadi tujuan akhir
perjalanan. Maka segerah lah IBT membangun sebuah gubuk kecil sebagai tempat
tinggal. Padi yang ada dalam genggaman sebagai bekal yang
diberikan oleh sang ayah pun segera di tanam. Hari-harinya di isi dengan
bekerja mencari nafka demi mempertahankan hidup sebatang kara ditengah hutan
belantara. Padi yang ditanam pun dipanen, namun karena keterbatasan
pengetahuan maka padi yang di panen tersebut hanya dinikmati kuitnya (awang).
Kebiasaan memakan kulit padi ini dalam Bahasa bugis disebut “pakkande awang”.yang berarti pemakan
ampas padi. Kebiasaan I Besse Timo mengkomsumsi awang ini diabadikan sebagai
nama bukit yang dihuninya itu dengan nama Coppo Kandiawang (puncak bukit pemakan
ampas padi)
Diatas bukit tersebut, I BesseTimo yang pada awalnya
hidup sendirian namun setelah beberapa bulan kemudian anak yang dikandungnya
lahir. Tanpa ditemani oleh siapapun dia melahirkan seorang bayi perempuan yang diberi
nama I Besse Kadiu. Bersama dengan kelahiran putrinya itu, telur yang
menuntunnya hingga ke Coppo Kandiawang tersebut pun menetas dan menjadilah
seekor ayam betina.
Beberapa tahun kemudian, seiring dengan
pertumbuhan ayamnya yang kian lama semakin besar itu, putri Ibesse Timo pun
semakin tumbuh dewasa menjadi seorang gadis. Kehadiran putrinya yang juga
berparas cantik jelita membuat hidup putri Arung Tete itu tenteram, kendi belum
diketahui siapa lelaki yang merupakan ayah dari putrinya tersebut. Bert
ahun-tahun mereka berdua hidup di hutan belantara itu, namun tak seorangpun
yang mengetahui keberadaannya, sekalipun tak jauh dari tempat itu terdapat
sebuah Kerajaan kecil yang hanya diantarai oleh dua bukit saja. Kerajaan
tersebut bernama kerajaan Bulu Matanre.
Seperti halnya kerajaan Tete, kerajaan Bulu
Matanre juga diperintah oleh seorang wali yang dukenal To manurung E ri Bulu
Matanre atau yang digelar dengan nama Petta Bulu Matanre. Ia memiliki
beberapa orang anak, seorang Putra beliau yang bernama Baso Paranrengi pernah
mengalami peristiwa yang sama persis seperti yang juga pernah dialami oleh
putri Arung Tete. Baso Paranrengi mengalami perasaan intim layaknya hubungan
suami istri disaat terjadinya Guntur yang amat dahsyat pada usia yang memang sudah
beranjak dewasa. Namun peristiwa tersebut dianggap hal yang biasa sehingga
kejadian tersebut dibiarkan berlalu begitu saja. Baso Paranrengi memiliki
kegemaran berburu rusa, sehingga hari-harinya biasa di manfaatkan pergi kehutan
untuk berburu.
Suatu hari Baso Paranrengi di temani oleh
pengawalnya yang bernama La Salatu pergi berburu di hutan dekat bukit yang
didiami oleh I Besse Timo beserta putrinya.
Pada saat mereka berdua Istirahat di suatu bukit, la Baso Paranrengi
memperhatikan anjing Pemburunya si Hitam dan si Putih dengan seksama yang baru
saja datang dengan perut yang kenyang sementara belum mendapatkan tangkapan
hewan buruan seekor pung. Melihat keanehan tersebut, ia pun menyuruh La Salatu
(pengawal pribadinya) di suatu ketinggian untuk berdiri “toli’ ko Salatu”
mengamati apakah di sekitar kawasan
perburuan kita ada orang yang tinggal. Di bukit tempat pengawalnya berdiri
itulah kemudian di namai bulu Latoli ( gunung berdiri). Sesaat kemudian
pengawalnya itu melaporkan bahwasanya disebuah puncak bukit terdapat asap api.
Maka bergegaslah Putra Petta Bulu Matanre meninggalkan Gunung Latoli menuju ke
puncak bukit dimana asap api itu berasal dengan maksud mengetahui siapa
gerangan yang tinggal di sana.
Tatkala ia sampai di bukit tempat suber asap
berasal, dia melihat sebuah bangunan tempat tinggal berupa gubuk kecil. Untuk
memenuhi rasa penasarannya dia pun segera mendekati gubuk tersebut, dia berdiri
tepat di depan gubuk kecil namun tertata rapi itu sambil mengamati siapa gerangan pemiliknya. Tiba –tiba dua orang
keluar bersamaan dari dalam gubuk sederhana tersebut bermaksud hendak bersantai
seperti biasanya di halaman gubuknya. Baso Paranrengi yang sudah berdiri sejak
tadi menyaksikan dengan jelas iringan kedua orang tersebut keluar dari gubuk
beratap rumpia tersebut. Betapa terpananya melihat pemandangan indah dua orang
gadis jelita cantik nan rupawan itu. Melihat kecantikan kedua wanita yang ada
di hadapannya, Baso Paranrengi tiba-tiba jatuh pinsan tak sadarkan diri.
Pengawal yang baru kali pertama itu melihat tuannya pinsang tak bisa berbuat
apa-apa kecuali meminta pertolongan kepada kedua wanita cantik tersebut. Dengan
segera I Besse Timo segera mengambil segayuh air lalu mencelupkan ujung
rambutnya kemudian memercikkan ke muka Baso Paranrengi. Seketika itu pula Putra
Petta Bulu Matanre tersebut tersadarkan dan berniat untuk memperistrikan wanita
cantik yang telah mengobatinya itu. Dari peristiwa inilah sehingga orang bugis
mengenal “pangeppi weluwa” memercikkan ujung rambut ke muka pasien sebagai
tehnik pengobatan orang yang sedang pinsang.
Ketika Baso Paranrengi kembali ke rumah, ia
langsung mengurung diri dengan membungkus sekujur tubuhnya dengan sarung.
Melihat gerak gerik putranya yang tidak biasanya itu, Petta Bulu Matanre
bertanya prihal keanehan sikap putranya itu kepada La Salatu sang Pengawal. Pengawalnya itu menceritakan kejadian yang
dialami putranya selama dalam perburuan. Dia menceritakan prihal pertemuan
antara Baso Paranrengi dengan dua wanita cantik yang tinggal di sekitar hutan
tempat perburuannya. Mendengar cerita pengawal tersebut, Petta Bulu Matanre selaku
orang tua segera memahami perasaan putranya tersebut dan mengatakan sesuatu
kepadanya “ oto’no Baso ulao maddutakko
baja” bangunlah Baso, besok ayah akan pergi melamar wanita yang telah
menawan hatimu.
Alhasil keesokan harinya Petta Bulu Matanre
pergi melamar wanita tersebut. Sesampai di gubuk wanita itu, beliau
mengutarakan maksud kedatangannya yang hendak melamar. Namun I Besse Timo pada
saat itu tidak mempunyai Wali Nikah sehingga tidak langsung menerima lamaran
tersebut. Ia kemudian mengisyaratkan Petta Bulu Matanre untuk pergi dulu
menemui seorang wali disebuah gunung sebelah selatan bukit Bittawang.
Tanpa menunggu waktu lagi, Petta Bulu Matanre
langsung berangkat ke gunung yang dimaksud. Ia lalu menjelajah gunung tersebut
demi menemukan wali yang dimaksud. Pencarian dilakukan mencakup seluruh kawasan
dipegunungan tersebut, namun tidak juga ketemu. Usaha untuk menemukan Wali yang
dimaksud telah menguras energy dan waktu yang luarbiasa lama hingga Petta Bulu
Matanre merasa kelelahan (poso) akibat perjalanan yang menanjak,menurun yang
dilaluinya. Akhirnya Petta Bulu Matanre tidak mampu lagi melanjutkan pencarian
akibat kelelahan yang teramat sangat itu. Disinilah asal mula nama Gunung
Laposo yang berarti Gunung yang
melelahkan dengan ketinggian 100 kdpl di sematkan. Dalam keadaan Petta Bulu Matanre kelelahan
dan hamper berputus asa tiba-tiba muncul
seseorang yang mengaku sebagai Wali dari I Besse Timo. Petta Bulu Matanre pun
segera mengutarakan maksudnya . Akhirnya Wali yang senang bertapa di Gunung itu
yang ternyata adalah jelmaan To Manurung E Tellang Kere Ri Tete bersedia untuk
datang menjadi wali nikah terhadap wanita yang dipinang oleh Putra Petta Bulu
Matanre tersebut.
Pada hari yang telah disepakati keduanya,
Petta Bulu Matanre beserta Putranya datang kembali ke Gubuk Bukit Kandiawan. Di
gubuk itu telah hadir pula Wali yang merupakan Ayah dari I Besse Timo. Pada
saat pembicaraan antara kedua pihak keluarga berlangsung, Baso Paranrengi di
persilahkan memilih salah seorang dari kedua wanita cantik itu sebagai calon
istri. Tanpa mengetahui status kedua wanita yang serupa dengan anak kembar itu,
pilhannya jatuh pada I Besse Timo yang sudah berstatus sebagai ibu dari I Besse
Kadiu. Mereka pun dinikahkan.
Setelah keduanya sudah resmi menjadi suami
istri, mereka hidup rukun damai di tempat ini. Suatu hari mereka menceritakan
kisah remaja mereka masing-masing. Sampai pada kisah ledakan Petir / guntur yang menggelegar yang pernah dialami oleh Baco Paranrengi pada masa remaja. Ternyata cerita yang sama juga pernah di alami oleh I Besse Timo. Bahkan waktu kejadiannya pun bersamaan. Keduanya menceritakan apa yang dirasakan pada kejadian tersebut.
Baik I Besse Timo maupun Baco Paranrengi mengungkapkan bahwa perasaan yang
dirasakan pada saat itu persis sama dengan perasaan orgasme layaknya
berhubungan suami istri. Barulah I Besse Timo menyadari bahwa sesungguhnya
Ayah dari putrinya I Besse Kadiu tidak lain adalah Baso Paranrengi sendiri.
Beberapa tahun kemudian, pasangan suami istri
ini yang telah dinikahkan secara resmi ini dikaruniakan beberapa anak lagi.
Pada saat yang sama ayamnya pun berkembang biak di tempat ini. Namun anehnya ayam
ayam miliknya tidak pernah tinggal di tempat itu pada siang hari. Setiap pagi
ayam-ayam itu pergi ke puncak bukit yang bersebelahan dengan puncak bukit
Kandiawan tempatnya bermukim. Melihat kebiasaan ayam yang tidak lazim tersebut,
maka I Besse Timo ditemani Suaminya mengikuti jejak ayamnya itu. Setelah sampai
dipuncak bukit tersebut, mereka mendapati ayam-ayan nya itu sedang asyik bermandikan
tanah membentuk gundukan tanah.
Aktivitas ayam membuat gundukan tanah ini dalam Bahasa bugis disebut “Mabbumpung”
, sementara lokasi tempat ayam-ayam membuat gundukan tanah itu dinamakan
“Umpungeng”.
Karena tempat itu menarik bagi keluarga Baso
Parenrengi, maka mereka merencanakan pindah menetap di tempat ini. Baso
Parenrengi dan I Besse Timo bertapa / bertahannus di tempat ini meminta kepada
Dewata Pattappa (Tuhan Pencipta), agar diterima dengan baik di tempat baru ini.
Permintaan mereka dikabulkan dan tanpa diduga, mereka dihadiahi sebuah rumah
yang material bangunannya kokoh namun terbuat dari kayu-kayu yang saat ini kita
kenal tumbuhan jangka pendek seperti kayu Cabai dan lain-lain berdiri tepat di
atas bukit itu sekitar 60 m sebelah barat lokasi Umpungeng. Rumah inilah yang
dikenal dengan nama Bola Manurung’E Ri Umpungeng. Keluarga Baso Paranrengi akhirnya
dapat pindah ketempat baru ini yang kemudian beranak cucu hingga membentuk
perkampungan yang dikenal Kampung Umpungeng.
Setelah perkembangan dari waktu ke waktu,
masyarakat Umpungeng semakin bertambah jumlahnya sementara lokasi tempat
pemukiman diatas bukit semakin terasa sempit maka sebagian diantaranya memilih
keluar atau merantau dan sebagian kecil tetap bermukim disini hingga sampai
pada satu masa berdiri kerajaan kecil yang bernama Kerajaan Umpungeng yang dipimping
oleh seorang yang bernama Nenek Dongkong yang juga dikenal dengan “Arung
Umpungeng”. Kepemimpinannya bersahaja
dan memiliki kemampuan diplomasi yang hebat, sehingga Umpungeng menjadi tuan
rumah / tempat pertemuan para Raja pada saat itu. Lokasi pertemuan para pemimpin
tersebut berada persis di lokasi Umpungeng (tempat ayam-ayam ma’bumpung) yang
kini di kenal Lalabata Umpungeng / Garugae.
Tempat ini merupakan salah satu situs megalitikum yang terbentuk dari deretan
batu-batu gunung membentuk lingkarang dan di tengahnya terdapat batu
pertengahan (posina tanae). Konon setiap satu batu merupakan tempat duduknya
satu perwakilan yang membentuk lingkarang. Tempat inilah kemudian menjadi
symbol pemersatu yang sering dikunjungi orang dari berbagai penjuru.
Kini
zaman telah berubah, wilayah kekuasaan telah disatukan menjadi Republik yakni Republik Indonesia dan dibagi tidak
lagi berdasarkan kekuasaan kerajaan namun berdasarkan wilayah Provinsi, Kabupaten,
Kecamatan dan Desa. Umpungeng telah menjadi sebuah nama kampung yang berada di
wilayah hukum bernama Desa Umpungeng, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng,
Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. (Ditulis oleh: Nurhayati, SPd. & Dituturkan
oleh: Umar Padlan)